MEMGAPAI SURGA DARI LUKA YANG DALAM

Dalam satu masa di hidupku, dunia terasa mengecil, menyempit menjadi lorong gelap tanpa pintu keluar. Hari-hari kulewati dengan dada yang sesak, air mata yang tak pernah benar-benar jatuh, dan senyum yang hanya menjadi topeng tipis untuk menutupi badai di dalam hati. Lukaku bukan berasal dari satu peristiwa, melainkan tumpukan kejadian yang perlahan mengikis tenangku.

Aku dulu percaya hidup berjalan lurus; kerja keras dihargai, ketulusan dibalas baik. Namun kenyataan tak seindah itu. Ada kalanya kebaikan disalahpahami, niat baik dicurigai, dan usaha tulus justru dijadikan celaan. Ketika orang-orang yang kuanggap keluarga mulai menyudutkanku, aku merasa pondasi hidupku runtuh sedikit demi sedikit.

Aku mencoba kuat, tapi pada akhirnya aku harus mengakui, aku terluka.
Luka itu tak tampak di kulit, namun tajam menusuk dari dalam dada. Luka yang membuatku berhenti percaya bahwa hidup masih bisa membawa keajaiban.

Suatu hari, teringat sebuah nasihat dari guruku waktu sekolah dulu:
“Hidup tidak pernah kejam, kita hanya kadang terjebak di tempat yang salah terlalu lama.”
Aku mengulang kalimat itu berkali-kali hingga perlahan memberanikan diri untuk melihat dunia dari sudut yang berbeda.

Dan saat itulah keajaiban kecil datang.

Ketika menunggu antrian berobat di rumah sakit umum, seorang ibu tiba-tiba menyapaku. Ia tak mengenalku, tak tahu kisah apa pun tentangku, namun senyumnya seolah mengangkat seluruh lelah yang menempel di pundakku. Aku duduk di hadapannya, dan di tengah hiruk-pikuk ruang tunggu, ia berkata lembut:

“Nak, kadang kita harus melewati luka agar tahu betapa berharganya bahagia itu.”

Kata-katanya sederhana, tapi menembus palung terdalam dari jiwaku. Aku hanya mampu tersenyum sambil menatap kedua matanya yang memancarkan cahaya kehangatan yang tak bisa kuterjemahkan selain sebagai pesan dari semesta.

Sejak saat itu, setiap hari kubawa kata-kata ibu itu kemanapun aku melangkah.
Aku mulai melihat diriku, serpihan-serpihan kecil yang pernah berserakan ku kumpulkan  kembali, perlahan tapi pasti.

Aku menemukan kebaikan dari hal-hal biasa yang dulu tak pernah kuperhatikan:
pedagang di pinggir rel kereta yang menyeru pembeli dengan suara riang,
anak-anak yang berlari mengejar tawa mereka sendiri,
orang asing yang memberi sedikit harta kepada yang membutuhkan tanpa pamrih.

Dari hal-hal kecil itulah aku belajar bahwa surga bukan hanya tempat jauh di atas awan.

Surga bisa tumbuh diam-diam dalam hati yang bersedia sembuh.
Surga lahir dari luka yang diterima dengan ikhlas, bukan dilawan dengan amarah.
Surga hadir ketika air mata berubah menjadi kekuatan, bukan kelemahan.

Dan ketika akhirnya aku mulai memaafkan semua orang yang pernah melukaiku, semua keadaan yang pernah menjatuhkanku, dan terutama diriku sendiri, cahaya itu benar-benar datang.
Cahaya yang lembut seperti fajar yang menyapa setelah malam terkelam.

Kini, luka itu tidak lagi menjadi jurang tempatku terperosok. Ia menjadi tangga kecil yang menuntunku naik, setapak demi setapak, menuju ketenangan yang selama ini kupikir tak mungkin kunikmati lagi.

Di balik luka terdalamku, ternyata tersimpan sebuah ruang yang menyerupai surga yaitu kedamaian, penerimaan, dan keberanian untuk kembali melangkah.

Dan di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, aku tersenyum pada hidup.
Aku tahu perjalanan ini belum selesai.
Tapi kini aku melangkah di jalan yang benar, jalan pulang menuju diriku sendiri.



PESAN MORAL

"Kadang kala surga itu bukan tempat yang jauh dilangit,  tetapi ketenangan dan kedamain hati yang kita rasakan. Itulah salah satu suasa surga yang sesungguhnya"



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SABAR

HARAPAN YANG TUMBUH DI TENGAH PUING - PUING

Menjadi Ibu Harus Bahagia