TITIPAN


Hujan turun sejak subuh. Bukan hujan deras yang datang sekejap lalu pergi, melainkan hujan panjang—sabar, dingin, dan melelahkan. Jam demi jam tanah di perbukitan meneguk air hingga jenuh, hingga tak sanggup lagi menahan beban. Sungai yang biasanya jernih perlahan berubah warna menjadi cokelat pekat. Arusnya kian deras, membawa ranting, batang kayu, dan tanah dari hulu. Tanda-tanda itu nyata dan masuk akal, sebenarnya bisa dibaca. Namun kehidupan sering memaksa manusia bertahan pada harapan: bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Menjelang malam, suara sungai berubah. Ia tak lagi mengalir, tetapi menggeram. Dalam hitungan menit, galodo datang seperti murka yang dilepaskan. Lumpur, kayu-kayu besar, dan batu meluncur tanpa ampun, menghantam rumah-rumah di bantaran sungai. Teriakan minta tolong tenggelam oleh gemuruh air. Ada yang sempat berlari menyelamatkan diri, ada yang terjebak di dalam rumah, dan ada pula yang hilang begitu saja—diseret arus, lenyap tanpa jejak.

Malam pun jatuh bersama kepanikan. Lampu padam, jalan terputus, sinyal menghilang. Di surau yang masih berdiri, warga berkumpul dengan tubuh basah dan gemetar. Nama-nama disebut satu per satu—mereka yang belum kembali, yang tak sempat dihubungi, yang terakhir terlihat sebelum arus besar datang. Tak ada tangisan keras. Yang terdengar hanya isak tertahan dan doa-doa lirih yang terucap dengan suara patah, seolah setiap kata terlalu berat untuk dilepaskan.

Pagi esoknya tak membawa kelegaan. Ia justru menghadirkan kenyataan yang lebih menyedihkan dan menyakitkan. Tim pencari menyusuri lumpur setinggi lutut, menggali dengan tangan kosong dan alat seadanya. Satu per satu korban ditemukan. Sebagian telah tak bernyawa, sebagian dikenali hanya dari pakaian atau barang kecil yang masih melekat. Setiap penemuan memanggil tangis baru. Setiap jenazah yang diangkat membuat dada semakin sesak, seolah udara pun ikut berduka.

Namun yang paling menyayat adalah mereka yang belum ditemukan. Keluarga menunggu di tepi sungai, memandang arus yang mulai tenang dengan harapan yang rapuh. Waktu berjalan lambat, sementara harapan dan ketakutan berjalan berdampingan, saling bertabrakan di dalam hati.

Secara logika, semua ini memiliki sebab. Hujan ekstrem, hutan yang berkurang, aliran sungai yang menyempit oleh ulah manusia—semuanya saling berkait. Alam tidak tiba-tiba menjadi kejam; ia hanya bereaksi. Namun logika kerap tak sanggup menghibur hati yang kehilangan. Penjelasan ilmiah, betapapun lengkap dan benar, tak pernah mampu menutup luka batin akibat hilangnya harta dan orang-orang tercinta.

Di tengah duka itu, kesadaran datang perlahan dan menyakitkan: betapa kecilnya manusia di hadapan Allah. Nyawa bisa diambil kapan saja, tanpa menunggu kesiapan. Kekuatan, harta, dan jabatan luruh tak berarti ketika alam bergerak atas izin-Nya. Yang tersisa hanyalah kepasrahan dan doa—agar mereka yang wafat diterima di sisi-Nya, dan mereka yang hidup diberi kekuatan untuk melanjutkan langkah.

Hari-hari berlalu. Beberapa korban ditemukan, beberapa lainnya tak pernah kembali, menyatu dengan lumpur dan aliran sungai. Kampung itu tak hanya kehilangan orang-orang tercinta, tetapi juga kehilangan rasa aman. Galodo meninggalkan luka yang panjang—di tanah, di ingatan, dan di hati.

Dari tragedi itu, pelajaran paling pahit pun tertulis: manusia lemah, dan di hadapan Allah manusia sungguh kecil. Hidup hanyalah titipan, dan alam tidak boleh diabaikan. Kesadaran itu datang dengan harga yang sangat mahal—nyawa-nyawa yang pergi, serta duka yang akan lama tinggal di dada mereka yang ditinggalkan.









Komentar

  1. ما شآء الله و تبارك الله
    لا حول و لا قوة إلا بالله
    Sadiah...
    Mantap tulisan Uni...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SABAR

HARAPAN YANG TUMBUH DI TENGAH PUING - PUING

Menjadi Ibu Harus Bahagia